Degradasi hutan adalah keadaan dimana hutan yang menurun tingkat anekaragam flora dan faunanya, merupakan akibat dari adanya penebangan pohon secara terus menerus atau cuaca alam yang tidak menentu sehingga terjadinya penurunan jumlah flora maupun fauna yang sangat besar dan mengakibatkan penurunan keanekaragaman hayati.
Degradasi hutan ini merupakan masalah yang serius bagi seluruh negara. Apabila degradasi hutan tidak diatasi secepatnya, maka populasi yang ada di dalam hutan tersebut akan hilang atau punah.
Dengan terjadinya degradasi, hewan-hewan tidak akan memiliki tempat tinggal yang dapat ditinggali dan pohon-pohon pun tidak dapat tumbuh bahkan manusia pun cepat atau lambat akan merasakan dampak dari degradasi hutan. Sehingga degradasi hutan ini harus secepatnya diatasi.
Pada saat terjadi degradasi, hutan masih tetap ada namun tidak dapat berfungsi dengan baik dan hanya tinggal “cangkang”-nya saja. Contohnya seperti fungsi hutan sebagai penyuplai oksigen.
Hutan yang mengalami degradasi tidak dapat menjalankan fungsi ini dikarenakan hutan telah kehilangan berbagai macam tumbuhan hijau yang berguna untuk pemberian oksigen bagi manusia dan makhluk hidup lainnya.
Namun, degradasi ini dapat kita atasi dengan melakukan reboisasi atau rehabilitasi dan pencegahannya dapat dilakukan dengan pemberian kebijakan atau hukuman yang berat bagi para pelaku penebangan liar ataupun pengambilan hasil hutan secara besar-besaran tanpa memikirkan kerusakan yang didapat dari aktivitas tersebut.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan mengeklaim dapat merehabilitasi seluas 30 ribu hektare kawasan hutan setiap tahunnya. Gubernur Kalimantan Selatan Dr (HC) H Sahbirin Noor menyatakan lewat program revolusi hijau, penanganan kerusakan hutan di provinsi ini berjalan signifikan.
Menurut dia, sebelum adanya revolusi hijau ini, kemampuan rehabilitasi kawasan hutan hanya sekitar 500 hektare per tahunnya. Namun, setelah dicanangkangerakan revolusi hijau pada 2017, rehabilitasi hutan dapat dilakukan mencapai 27 ribu-30 ribu hektare per tahun.
“Ini untuk mewujudkan Kalsel sebagai paru-paru dunia,” kata Paman Birin, begitu dia kerap disapa.
Upaya melestarikan hutan lindung di Kalsel dengan memaksimalkan pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Menurut dia, hal ini secara masif juga terus dilakukan agar mengurangi lahan kritis baru dan untuk mengurangi dampak efek rumah kaca yang diakibatkan emisi karbon.
Sejalan dengan kebijakan Presiden RI, Pemprov Kalsel memiliki Peraturan Gubernur Nomor 14 Tahun 2013 tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. “Selama ini menjadi acuan dalam pelaksanaan penurunan emisi karbon,” tuturnya.
Menurut dia, dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, Pemprov Kalsel juga membangun ekosistem biodiversiti. Saat ini sudah terbangun pabrik B30 yang telah mampu melakukan substitusi energi fosil sebesar 810 ton per hari.
Potensi investasi hijau di Kalsel sangat besar, kata Gubernur, berbagai pembangunan pembangkit listrik tenaga air, energi baru, pengelolaan sampah dan limbah menjadi energi terus dilakukan untuk kelestarian lingkungan.
sumber: republika