KHDPK aturan dalam UU Cipta Kerja mengenai pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan yang diturunkan dalam PP 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan.
Pemerintah beralasan, kebijakan KHDPK merupakan cara memperbaiki tata kelola hutan Jawa sekaligus memperbaiki performa bisnis Perhutani.
Aksi Damai dan Penyelamatan Hutan Jawa dari 5.000 orang yang melibatkan karyawan anggota Sekar (Serikat Karyawan) Perhutani dan berbagai komponen pencinta hutan kembali digelar, Rabu (20/7/2022) di seputar Patung Kuda, Monas, Jakarta.
Aksi ini digelar untuk menolak SK Menteri LHK No. SK.287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 tentang Penetapan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) pada Sebagian Hutan Negara yang Berada pada Kawasan hutan Produksi dan Hutan Lindung di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten demi pelestarian hutan, penerapan Good Forestry Governance (GFG) dan Good Risk Compliance (GRC).
Aksi Damai ini melibatkan karyawan anggota Sekar (Serikat Karyawan) Perhutani, Serikat Rimbawan Perum Perhutani, Serikat Rimbawan Pembaharuan Perum Perhutani, Lembaga Masyarakat Desa Hutan, Forum Penyelamat Hutan Jawa, dan Lembaga Swadaya Masyarakat Pencinta Lingkungan. Aksi serupa pernah dilakukan pada tanggal 18 Mei 2022.
“Kami tetap Meminta kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk membatalkan Permen P39/2017 dan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: SK.287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022no 287/2022, “ tegas plt DPP Sekar Perhutani Muhamad Ikhsan dalam keterangan tertulisnya.
Menurut Ikhsan, telah terjadi disorientasi tujuan pengelolaan hutan dari tujuan utama pengelolaan hutan bagi kelestarian lingkungan, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat menjadi hutan untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat semata. “Kebijakan tersebut juga mempunyai cacat secara konsep, legalitas, penerapan Good Forestry Governance (GFG) dan Good Risk Compliance (GRC), dan implementasinya,“ jelas dia.
Tujuan Aksi Damai adalah untuk menyampaikan kepada masyarakat Indonesia dan pemerintah peran strategis Hutan Jawa dalam mendukung kehidupan baik dari aspek ekologis, tata air, mitigasi bencana, perlindungan keanekaragaman hayati, perekonomian, sosial dan budaya.
Mengingat peran strategis tersebut. Aksi Damai meminta kepada pemerintah untuk mencabut Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: SK.287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 tentang Penetapan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) pada Sebagian Hutan Negara yang Berada pada Kawasan hutan Produksi dan Hutan Lindung di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten.
Dengan SK Menteri LHK tersebut, lahan seluas kurang lebih 1,1 juta hektar Hutan Jawa yang selama ini telah dikelola BUMN Kehutanan (Perum Perhutani) yang berkolaborasi dengan Masyarakat Desa Hutan, akan dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan diberikan izin pemanfaatan hutan baru.
“Kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan konflik horizontal antara pengelola yang sudah eksisting dengan pemegang izin baru. Dan hal ini sudah terjadi di lapangan. Selain itu, kebijakan tersebut berpotensi juga terjadi kerusakan hutan karena hutan dikelola secara kelompok dan individu hanya untuk usaha produktif,” tegas Ikhsan.
Menurut Ikhsan, lahan seluas 1,1 juta hektar merupakan tempat hidup 56% penduduk dari total 270 juta populasi Indonesia. Kawasan hutan yang menjadi penyangga hidup jutaan biodiversikasi mencapai 3 juta hektar, dimana 2,4 juta hektar diantaranya dikelola Perhutani untuk kepentingan publik.
Selama ini, sesuai amanah UU, dalam mengelola hutan, Perhutani selalu melibatkan dan memberdayakan masyarakat sekitar hutan sebagai mitra sejajar. Hal ini untuk kepentingan pelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat.
Aksi Damai menyampaikan masukan sebagai berikut;
- Meminta kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk membatalkan Permen P39/2017 dan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: SK.287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022no 287/2022;
- Menguatkan pengelolaan hutan Jawa pada pengelolaan secara organisasional yang kompeten kepada BUMN Kehutanan (Perum Perhutani) sebagai institusi Negara yang sah dengan penguatan dalam kelola hutan, sosial, dan lingkungannya;
- Melakukan penguatan dan pemberdayaan kepada LMDH sebagai mitra kelola hutan Jawa yang terbukti telah mampu mempertahankam kawasan hutan dan pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan;
- Medesak kepada Perhutani untuk meningkatkan kualitas pengelolaannya sehingga tujuan ekologis, ekonomis, dan sosial pengelolaan hutan Jawa dapat tercapai secara optimal, terukur, berkelanjutan, GFG, dan GRC;
- Mendesak kepada Kementerian LHK untuk menyusun Grand Design Pembangunan Hutan Jawa yang komprehensif, terintegrasi, selaras, terukur, dan berkelanjutan sebagai acuan bersama para pihak dalam pengelolaan hutan Jawa jangka panjang yang berfungsi dan bermanfaat secara maksimal dan berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat;
- Memberikan ruang dialog kembali terhadap perbaikan tata kelola Hutan Jawa kepada para pemangku kepentingan yang proporsional untuk keberlanjutan Hutan Jawa.
Hal ini berdasarkan beberapa poin yang disoroti DPP Sekar Perhutani yaitu :
- KHDPK tidak selaras dengan tata guna lahan yang mensyaratkan kecukupan luasan kawasan hutan pada suatu daerah sebesar 30%;
- Bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, bahwa UU No.11/2020 (UUCK), INKONSTITUSIONAL BERSYARAT, harus diperbaiki dalam kurun waktu maksimal 2 tahun, dan menunda pemberlakuan UUCK beserta peraturan peraturan terkait;
- Adanya perubahan pola pengelolaan hutan dari yang semula terorganisasi secara professional menjadi individual;
- Sebagai kebijakan pengelolaan aset negara, tidak memenuhi prinsip-prinsip Good Forestry Governance (GFG), dan Good Risk Compliance (GRC) seperti azas Transparansi, Akuntabilitas, Responsibility, Independent, Fairness, kemanfaatan, analisa risikonya, kebencanaan, dan keberlanjutannya;
- Melemahkan kelembagaan Perhutani sebagai institusi negara yang sah, berpengalaman, dan kompeten dalam pengelolaan hutan di Jawa bekerjasama dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan sebagai mitranya;
- Hasil implementasi IPHPS selama 5 tahun, belum terlihat keberhasilannya, menyebabkan kehancuran ratusan ribu hektar hutan, pelemahan LMDH, dan maraknya konflik antar masyarakatnya;
- Kemunculan banyak penumpang gelap (free riders) untuk kepentingan individu, maupun kelompok, dengan jual beli lahan garapan KHDPK;
- Penyerahan operasionalisasi KHDPK kepada LSM yang kurang kredibel, dan kompeten merupakan penyimpangan manajemen yang nyata;
- Memicu deforestration di Hutan Jawa sehingga mengurangi fungsi hutan sebagai penyerap emisi karbon;
- Secara SOSIAL BUDAYA KEMASYARAKATAN, KHDPK merusak tatanan masyarakat adat setempat yang telah menyatu dg keberadaan hutan diwilayahnya;Karena sejumlah alasan di atas dan bukti-bukti lapangan, Aksi Damai menyampaikan masukan sebagai berikut;
sumber : inews