Artikel ini kami ambil dari website kompasiana dengan judul yang sama Ketika Hutan Adat Dirampas, yang ditulis oleh akun muhamadilmar rosadi, berikut isi kontennya.
Pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda terbit Undang-Undang Agraria Hindia Belanda atau yang dikenal dengan “De Agrarische Wet” 1870 yang mengenalkan asas domain berklaring atau klaim negara atas kepemilikan tanah yang tidak bisa dibuktikan termasuk hutan, akibatnya kepemilikan hutan oleh komunitas tak diakui.
Melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Negara secara implisit membekukan hak masyarakat adat atas hutannya.
Banyak sekali wilayah adat termasuk hutan adat yang diklaim oleh Kementerian Kehutanan secara sepihak sebagai kawasan hutan dan kemudian memunculkan tumpang tindih klaim yang berdampak pada konflik-konflik termasuk juga pelanggaran HAM.
Baca juga : Beda Deforestasi dan Degradasi Hutan
Masyarakat hukum adat yang sesungguhnya memiliki hutan adat mempunyai masalah karena wilayah itu di masukan ke dalam kategori hutan negara dan oleh kementerian kehutanan, dan hutan negara itu dialokasikan untuk lisensi-lisensi izin atau hak-hak pemanfaatan dari perusahaan-perusahaan ataupun pengelola taman nasional.
Kebijakan ini berlanjut dalam Undang-Undang Kehutanan yang terbit di Era Reformasi yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang memasukkan hutan adat sebagai hutan negara.
Tidak adanya pengakuan terhadap hutan adat selama ini telah berdampak negatif dan merugikan masyarakat adat yang tinggal di sekitar dan di dalam kawasan hutan adat, akses masyarakat adat terhadap kawasan hutannya menjadi terbatas alih fungsi kawasan hutan adat menjadi hutan produksi, konservasi atau lindung kerap dilakukan bahkan tak jarang masyarakat justru dikriminalisasi ditangkap dan dipenjarakan oleh aparat keamanan dengan berbagai tuduhan kejahatan.
Mereka dituduh mencuri hasil hutan dan memasuki kawasan hutan negara secara tidak sah, kriminalisasi ini menimpa dibeberapa masyarakat adat seperti masyarakat kasepuhan di Cisitu di Lebak masyarakat adat Batang Barat di Palopo dan di banyak tempat lainnya.
Baca juga : 5.000 Karyawan Perhutani Tolak KHDPK
Menurut data konflik angka keterlibatan masyarakat adat dalam konflik sumber daya alam dan agraria cukup tinggi 91.968 orang dari 315 komunitas adat telah menjadi korban dalam konflik sumber daya alam dan agrarian.
Konflik sumber daya alam yang terjadi menyebabkan pelanggaran berat terhadap hak konstitusional berdasarkan undang-undang dasar 1945 dan hak asasi masyarakat adalah cukup banyak pelanggaran HAM di wilayah-wilayah masyarakat adat karena klaim kehutanan secara sepihak tersebut.
Ketika sudah banyaknya konflik dan hilangnya hak-hak masyarakat adat terhadap hutan adatnya membuat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegrian di Riau dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu di Banten mengajukan permohonan Uji Materi (Yudicial Review) terhadap sejumlah kalusul dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
1.Hutan adat yang diatur dalam Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, itu diyakini melanggar konstitusi;
2.Melihat realita lapangan karena tidak adanya kejelasan hak masyarakat adat atas hutan yang ada di wilayah adatnya yang melahirkan konflik di mana-mana, dan sudah berlangsung hampir 40 tahun lebih, sejak orde baru dan itu hanya bisa diobati dengan kita kembali ke konstitusi.
Baca juga : 5 Pekerja Ditangkap Karena Buka Tambang Ilegal
Fokus kepada batas antara hutan adat dengan hutan negara itu seperti apa itu tidak dilakukan, Implikasi dari itulah sebetulnya timbul ketidakadilan karena hutan adat seolah-olah dipersaingkan secara bebas dengan para pemegang izin.
Ketiga pemohon mengajukan permohonan Uji Materi (Yudicial Review) terhadap pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang Kehutanan ini terkait dengan status hutan adat dan pengakuan bersyarat masyarakat adat diantaranya pasal 1 angka 6 yang menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat masalah yang turut digugat pemohon.
Dalam pasal 5 ayat 1 yang menyatakan bahwa hutan berdasarkan statusnya terdiri dari hutan negara dan hutan hak serta pasal yang mengatur pengakuan bersyarat masyarakat hukum adat yaitu pasal 67 ayat 1 ayat 2 dan ayat 3.
Memberikan koreksi terhadap kekeliruan dalam legistrasi kehutanan yang ada, Kemudian yang kedua sebenarnya meneguhkan kembali berbagai macam tipologi penguasaan hutan yang ada di dalam kawasan hutan di mana sebelumnya ada kesalahan untuk menafsirkan bahwa yang disebut sebagai kawasan hutan itu hanyalah peta negara
sehingga akibatnya ketika satu wilayah di tunjuk dan kemudian dijadikan kawasan hutan atau otomatis di situ dipandang adalah kawasan yang bebas dari hak-hak warga negara.
Baca juga : Berikut 4 Daerah Penghasil Hutan di Indonesia yang Kaya Sumber Daya
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, tentang amar putusannya kata “Negara” dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Dalam amar putusannya dalam di poin 1.4 kata “Negara”dalam pasal 1 angka 6 undang-undang nomor 41 tahun 1998 Tidak Mempunyai Kekuatan Untuk Mengikat sehingga pasal 1 angka 6 undang-undang nomor 1 tahun 1999 hutan adalah oleh mahkamah konstitusi kemudian diklasifikasikan ke dalam hutan hak dan tidak lagi menjadi bagian dari hutan negara.
sumber: kompasiana